Minggu, 15 November 2009

NAFKAH

Begitu mendengar kata ini pasti kita akan mengasosiasikannya dengan benda yang bernama uang. Ga bisa dipungkiri kalo yang namanya uang adalah hal penting saat manusia hidup, makan pake uang, beli minum pake uang, kontrak rumah pake uang, bayar listrik pake uang, parkir mobil pake uang bahkan buang air juga pake uang, terkenal banget tuh istilah pedagang “ada uang ada barang”. Sumber uang ini bisa darimana saja, kita bekerja untuk dapet uang, kita mengemis untuk bisa dapet uang atau kita hanya diam saja dan uang akan datang dengan sendirinya. Nah, nafkah ini menurut arti sempit di otakku adalah uang yang diberikan laki-laki pada perempuan atas hasil kerja kerasnya untuk menghidupi kehidupan kecil mereka. Kehidupan kecil ini aku masih belum bisa mengategorikannya seperti apa, entah itu cuma hubungan pertemanan, pacaran atau sudah menikah.

Langsung ke contoh saja kalau begitu, haha.. Beberapa kali pergi dengan teman laki-laki, kami mengalami yang namanya otot-ototan akan bayar-membayar dan akhirnya para teman lelakiku itu yang mengeluarkan uang paling banya. Yaah, siapa sih yang ga seneng barang gratis, karena katanya sih di dunia ini yang gratis yang cuma udara... Naik jenjangnya menjadi pacar, beberapa pasangan khususnya cewek akan mengetes seberapa loyalkah calonnya dengan meminta ini itu, atau bahkan hanya dengan memberikan pancingan-pancingan untuk tahu juga seberapa pengertianyakah si cowok menanggapai keinginannya. Mungkin beruntung bagi cowok yang punya pasangan tidak secerewet itu, ga bakal repot mengurusi dan ga bakal banyak pengeluaran, i do nothing with this things. “Yang, baju yang warna hijau tadi itu bagus ya, bagus ga kalo aku yang pake?” atau “Say, sandalku yang kemaren itu talinya putus padahal aku suka banget, beliin lagi doong..” Yaah, ada ucapan langsung dan ga langsung, eksplisit dan implisit. Mengapa mereka melakukan tes itu? Terlepas dari cewek itu matrealistis mereka mungkin akan mengatakan, “Yaiyalaah,kalo ga buat aku duitnya buat siapa”, “Kalo ga dites kita ga bakal tahu dia ntar pelit ga ma kita pas udah nikah dan punya anak”.

Nikah?Punya anak? Oke, one step ahead, marriage. Baru saja melihat artikel di majalah dengan kalimat “pernikahan tanpa cinta adalah sebuah kehampaan, pernikahan tanpa uang adalah kesengsaraan” Hmm, ini mungkin yang banyak orang akan sepakat /nafkah baru bisa diberikan dan diterima saat kita sudah menikah. Suami akan menafkahi secara lahir maupun batin kepada istrinya, baik istrinya juga berkerja ataupun tidak (ini soal lahiriah), hanya itu yang bisa diartikan berdasarkan pengetahuan agama dan pengertian harfiahku yang kurang. Demikian halnya bagaimana seharusnya itu dilakukan. Based on a story and looking around, ada suami yang memberikan berapa persen atau bahkan semua gaji pada istrinya, tapi ada juga suami yang tidak memberikan gajinya kepada istri karena ia sendiri sudah bisa mengatur apa saja yang akan dikeluarkan oleh rumah tangga tersebut. Bener ga sih tindakan seperti itu? There’s so many reason, katanya menafkahi bukan hanya sekedar menyerahkan uang kepeda istri untuk bisa diatur, tapi secara dalil mungkin itu sudah menjadi kewajiban. Kalau melihat sisi yang lain, mengapa istri harus mendapatkan uang itu karena paling tidak ia jadi tahu berapa jumlah gaji yang sebenarnya diterima suami dengan asumsi yang mengatakan bahwa laki-laki kalau punya uang banyak akan sedikit mengalokasikan uangnya untuk selingkuh, what?! Dugaan-dugaan seperti ini yang terkadang membuat suami istri jadi tidak saling percaya, mungkin kalau uang dipegang istri, suami mengira uang habis untuk dipakai berbelanja barang ga penting. Kalau suami yang pegang uang maka akan ada kemungkinan seperti yang sudah kutuliskan, many worst thing could be happen.

Sekali lagi bukan soal urusan matrealistis, untuk saat ini aku jadi agak melek dan berusaha realistis juga kalo dari sekarang kamu harus bisa melihat keseriusan pasangan tidak hanya dari pengertian saat kamu sedang sedih, marah atau sebel tapi juga pengertian akan bagaimana bisa mengatur keuangan untuk berdua.

Jumat, 13 November 2009

“Bocah kecil, kecil juga susahnya. Bocah gede, gede juga susahnya.”

Entah hal ini pernah dialami oleh sebagian orang atau tidak, tetapi apa yang kualami sekarang ini mungkin sedang dirasakan juga oleh sebagian orang yang lain. Hidup pada satu titik dimana kita harus memilih, memilih untuk makan tahu daripada tempe, memilih untuk lebih suka musik jazz ketimbang musik dangdut, memilih pergi ke mall daripada ke pasar dan yang lebih serius yaitu memilih untuk bahagia atau bersedih.
Semakin dewasa kita akan semakin dihadapkan pada pilihan yang sangat kompleks dan rumit karena banyak keinginan, kebutuhan serta kepentingan. Seperti kata pengarang PAT “Bocah kecil, kecil juga susahnya. Bocah gede, gede juga susahnya.”

Tidak bermaksud menyamaratakan bahwa semua kehidupan seseorang akan seperti itu, tapi apa yang terjadi padaku baru-baru ini sedikit banyak membuat aku berpikir dan mencoba menulis ini.
Dulu sewaktu aku kecil (melihat juga kondisi adik-adikku sekarang), sering dilarang untuk ini itu, hujan-hujanan ga boleh, main layangan ga boleh, main pasir dilarang, jajan sembarangan diantisipasi dengan membawa bekal dari rumah. Semakin bertambah umur, teman semakin banyak dan pandangan akan dunia bertambah, bahwa ada yang namanya nonton bioskop, pergi makan traktiran temen, ada jalan-jalan atau main basket di Timezone...
Masuk jenjang yang lebih tinggi tahapan umurnya, aku mulai kenal yang namanya chatting dan dunia maya, mulai tertarik untuk backstreet, bersemangat untuk ikut kegiatan yang tidak terkungkung aturan, ekstrim tapi santai macem pecinta alam, mulai suka dan addict sama band dan hafal lirik lagu-lagu tertentu dari mulai jaman Linkin Park, Radiohead, atau Padi dan Ari Lasso sampai pengeeen banget bisa ngeliat konser Maliq&d’Essentials secara live...
Tumbuh menjadi bocah gede pun masih saja disibukkan dengan pilihan, bahwa aku akhirnya harus membenamkan keinginanku untuk masuk psikologi dan berbelok ke komunikasi, mencoba dunia model dan broadcast yang aku suka tapi tidak total, tertarik pada film dan berusaha loyal di dalamnya, berorganisasi dengan konsekuensi yang tidak sedikit…Kalau diingat rasa-rasanya aku waktu itu tidak boleh bergaul dengan teman satu kompleks untuk bermain di sore hari, tidak boleh menginap di rumah teman, tidak boleh ikut hiking, tidak boleh nonton konser, tidak boleh pacaran, tidak boleh kuliah di luar malang dan ketidakbolehan yang lain..
Semua hal itu sudah kulalui dengan senang hati, tanpa keterpaksaan dan pemberontakan yang fatal. Aku juga ga tahu sebenarnya diriku yang dewasa adalah yang sekarang atau dulu, yang bisa dengan legawa menerima karena merasa itulah bentuk kekhawatiran dan kasih sayang orang tua…atau malah yang sekarang yang ingin memberontak.

Ya, memang akhirnya sampai pada titik ini, titik dimana aku sudah menyelesaikan studiku dan seharusnya memulai hal baru dalam hidupku... Let say, aku harus bekerja dan mandiri. Masalah aku bekerja sebenarnya adalah konsekuensi dari mana aku menyelesaikan kuliahku, idealnya…tapi tuntutan yang ada saat ini mengatakan lain. Itulah yang sepertinya tidak dipahami oleh orang-orang konservatif seperti orang tuaku (sorry to say), mereka tetap beranggapan bahwa apa yang diberikan negara dengan menjadi PNS adalah keselamatan untuk masa depanku dan mereka “memaksa” untuk tetap berada di jalan yang lurus tanpa resiko.
Walaupun aku dibiarkan untuk mencari dan mendapatkan apa yang aku inginkan, tapi mereka tidak mau tahu akan resiko yang akan dihadapi olehku jika ada yang di luar jalur, penerimaan yang sulit memang. Sebenarnya juga masih gamang dan takut apakah aku akan bisa menjalani dunia di luar “buku panduan hidup aman” itu atau tidak, tapi kalau aku ga mencobanya mau dikemanakan mimpi-mimpiku, keinginanku, kebutuhanku, paling tidak walaupun sedikit atau sebentar, aku sudah pernah merasakan mimpi itu...

Kapan lagi sih bisa membahagiakan orangtua, begitu kata banyak sodara, aku pengen, I wish, I will and it should be... tapi jadi muncul pertanyaan jahat dipikiranku, apakah pemberontakan ini adalah sebuah bentuk akumulasi ketidakterimaan akan minimnya apresiasi atas prestasi untuk membahagiakan mereka? dunno..

Apa yang harus aku lakukan sekarang adalah hanya menanamkan keyakinan pada diriku sendiri bahwa aku mampu membuat “buku panduan hidup aman part.2”. Tentu dengan versiku sendiri, dengan keyakinan-keyakinan yang harus kukatakan setiap hari, dengan pembuktian bahwa ini baik dan juga berguna, dengan menguatkan hati dan pikiran bahwa semua pilihan hidup itu ada resikonya dan berkata “ini akan baik-baik saja”.