Rabu, 09 September 2009

Perubahan Untuk Standart

Suatu malam aku sedang berkumpul dengan sahabat-sahabat lamaku, kita ngobrol sambil makan yang berlebihan. Biasanya kalo udah kumpul gini jarang ada yang mau cerita dari hati ke hati, karena kesempatan buat kumpul emang jarang banget jadi ga mau ada sedih-sedihan. Sahabat cewekku yang biasanya cuma cerita sama aku soal masalah pribadinya, tiba-tiba ngomong masalahnya, walaupun tanpa emosi (baca : nangis). Dia cerita soal hubungan pacarannya yang baru aja menginjak setengah tahun, backstreet, karena ga bakal disetujui sama keluarganya, dia tahu pasti itu. Temenku ini adalah anak dari salah satu orang terpandang dan dia sendiri juga orang yang cukup populer, entahlah itu adalah variabel masalahnya atau tidak tapi yang jelas si Ibu tidak mungkin menyetujui hubungan ini karena sang pacar sudah dicap tidak baik karena pergaulannya. Belum lagi latar belakang pendidikannya yang membuat dia hanya bekerja di salah satu tempat periklanan, tambahan lagi kata temanku, dia cuma cowok yang asalnya dari desa dan cuma dia yang berpendidikan di keluarganya, sudah pasti akan sangat sulit diterima oleh keluarga temanku. Sejauh ini, temanku bilang kalau hubungannya baik-baik saja bahkan si cowok mau berubah dari yang awalnya merokok jadi ga dan mau lebih berusaha akan hidupnya demi temanku, yah walaupun entah nantinya akan bisa bersama atau tidak, paling tidak si cowok sudah mau berusaha untuk dirinya sendiri, ga akan ada yang rugi kurasa.

Malam itu mengingatkan aku akan cerita lainnya. Ada seorang teman yang mengalami hal yang sama, hubungan pacaran yang awalnya juga backstreet dan sekarang sudah membaik, masih belum tentu disetujui karena punya masalah latar belakang keluarga. Si cowok hanya orang dari keluarga di desa yang berpindah agama, sedangkan temanku sangat saklek dengan agamanya. They’re same now, tapi ibu temanku pasti tidak akan mau menerima hal-hal yang berbau campuran. Hampir berapa kali hubungan ini naik turun, tapi salut banget buat si cowok yang pantang menyerah, bener-bener mau berubah dan tau caranya berbuat untuk temanku dan keluarganya.

Berbeda dari dua cerita tadi, ada satu teman yang lagi-lagi perempuan bercerita. Berkali-kali dia pacaran dan deket sama cowok, tapi ga sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh orangtuanya. Yang kurang baik kelakuannya, yang ga oke pekerjannya, yang ga bagus pendidikannya, semua dinilai pantas atau tidaknya untuk temanku yang itungannya waktu itu masih umur 21 tahun. Aku sih ngerasanya dia jadi ga bisa bebas menentukan kebahagiannya, tapi dia berpikir bahwa dengan pacar yang sekarang, yang notabene sudah waktunya untuk menikah dan sesuai kriteria orangtuanya, dia ga terpaksa dan bahagia karena sudah ga perlu kompromi lagi dengan orang tuanya, give up to get her own happiness.

Dari tiga cerita tadi aku ngerasa memang, each family have their own standart of everything that they sould get it in. Apapun halnya pasti latar belakang akan ngaruh banget. Ya, ya, ya, apa yang kata orang tua bibit, bobot, bebet ituu. Siapa sih yang mau anaknya yang seorang sarjana dapet menantu yang cuma dari diploma, mana ada orangtua yang mau kluster keluarganya tercampur sama yang bener-bener tidak diinginkannya, yah walopun sedikit menyakitkan, but its real. It’s okelah kalo emang kita punya standart kita ga akan dilecehin sama orang, tapi kalo standart itu menghalangi kebahagiaan, masa ya harus dipertahankan. Tapi aku percaya banget, dimana kita tinggal, dalam hal ini keluarga, maka kita akan secara ga langsung sadar, tau dan menerapkan standart itu dengan kompromi tentu saja. Adanya standart entah itu tinggi atau rendah, paling tidak juga akan membuktikan seberapa mampu, kuat dan serius sesuatu diperjuangkan untuk didapatkan dan dipertahankan. Paling tidak kalaupun tidak berhasil didapatkan, tidak ada sesuatu pelajaran yang percuma karena berubah demi apapun itu semoga adalah yang baik.